Hukum dan Keadilan sekarang ini tidak ada bedanya dengan PSK yang mejeng di pinggir jalan
Apakah kita bisa bercermin dengan jatuhnya Moamer Kadhafi, yang membangun kekuasaan dengan korupsi, tak peduli keadilan danHAM, serta hanya pencitraan? Bisakah kita membayangkan betapa dahsyatnya People Power. Kursi kekuasaan memang nyaman, sehingga membuat orang “duduk lupa berdiri”
TANGGAL SATU MEI, PERAYAAN KITA, SELURUH DUNIA, KAUM PROLETARIS, PROLETARIS, PROLETAAAAAAARIS……………..!
A tribute to Abdul Kader Jaelani, Mat Noor, Herman dan saudara-saudara kita yang terkapar di negeri jiran….
KOBOI PALMERAH>
Senjata memang diperlukan untuk keamanan dan membela negara, tetapi kalau ditangan seorang psychopath…..?
ANTI DEPRESSANT: Cerita tercecer dari hasil studi banding DPR ke Jerman, bulan lalu….
Sepulang dari studi banding, Dulmingin dengan bangga tak bosan-bosan cerita kepada pak Duloh, babenya: ” Kemajuan teknologi Jerman memang luar biasa! Bayangkan ‘be, babi masuk ke mesin langsung keluar jadi sosis!” Pak Duloh jengkel: ” Kamu kira kurang apa kemajuan teknologi Indonesia?! Bayangkan, sosis masuk ke mesin jadi kamu,BABI!!!”
GM Sudarta: Master of the art of criticism
The great cartoonist GM Sudarta knows well not only the art of drawing, but also the art of criticism.
“People here do not like being criticized. Therefore you have to do it in such a way to hit the target,” said the creator of Oom Pasikom, the character that appears in his cartoons in Kompas daily.
A combination of euphemism, a good sense of humor and knowledge about current issues has helped his cartoons survive for 40 years, including through the authoritarian regime of former president Soeharto.
“Instead of saying `thief’, you can say `a person who takes somebody else’s belongings without permission,'” said the 62-year-old artist, whose works are on display at Bentara Budaya, Jl. Palmerah Selatan 17, Central Jakarta, until July 12.
To criticize the Soeharto government’s policy to award a clove monopoly to the controversial Clove Marketing and Buffer Agency (BPPC), owned by Soeharto’s son Tommy, Sudarta drew a cartoon showing Oom Pasikom smoking a clove cigarette.
After just one puff, he coughs and coughs, almost vomiting. Yet, he grins and says: “Wow, the clove is so good.”
The fact that many Indonesians do not like being criticized has made Sudarta even more creative in conveying the message of his work, in what he calls the “Indonesian way of criticizing”.
Born in the small town of Klaten in Central Java, Sudarta is fully aware of the Javanese philosophies of ngono yo ngono ning ojo ngono (whatever you’re doing, do it, but don’t bother everyone else by doing it) and tepo seliro (don’t do something you would not want done to yourself).
The press was controlled when Soeharto was in power and Kompas received many warnings because of Sudarta’s cartoons. Today, even though the door of press freedom is wide open, the artist remains careful with his work.
When President Susilo Bambang Yudhoyono cried last month at hearing of the suffering of people whose houses in Sidoarjo, East Java, were inundated by the mudflow, many criticized him. They said it was too late to cry, more than a year after the tragedy began.
In his cartoon, Sudarta drew the character of Oom Pasikom, who was crying because he did not want to hurt the President.
His editors at Kompas may also tell him to revise his cartoons, like one about the Tangerang administration’s bylaw on prostitution. In the original cartoon Sudarta drew a wolf-headed man, representing an official, who was ready to arrest a woman walking alone at night because she was regarded as a prostitute. The editor, however, told him to remove the wolf’s head.
Kompas refused to publish one cartoon about military brutality in Aceh, which then was a Military Operation Zone.
“That’s OK. I didn’t have any objections because I understand that it is the editor of the newspaper who is responsible for the publication of my cartoons,” he said.
Sudarta, who also launched his book 40 Years of Oom Pasikom at the opening of the cartoon exhibition, studied at the Institute of the Arts (ASRI) in Yogyakarta from 1965-1967.
He had to leave school before graduating because of financial problems, applying for a job as an illustrator at Kompas.
He was interviewed by PK Oyong, the publisher of the daily, who, as a test, had Sudarta draw passengers panicking as their aircraft crashed.
There had been a recent airplane crash in Sulawesi.
“I had never been in an airplane. So the interior of the airplane in my drawing was like what was inside an economic train,” Sudarta said.
But never mind. He was accepted with a starting salary of Rp 1,250, a huge sum of money for him at that time.
“I spent Rp 600 to pay my room rent, gave Rp 200 to my mother, bought new clothes, books and food,” he recalled, adding that a nice shirt only cost Rp 13.
During his 40-year career, Sudarta has created many cartoons about various issues, from politics and law to economics and social issues. Many of the problems he presented decades ago in his cartoons, such as corruption, remain problems to this day.
“If everything was good now, cartoonists would not have a job,” he says with a laugh.
Sudarta, who has three children, also loves painting. He stopped painting about a year after starting at the paper, only picking it up again when he was ill for two months ion 1985.
The doctor diagnosed Sudarta’s problem as stress.
“I was stressed because I knew a lot but could not express it,” he said, adding that he started to paint again on the advice of fellow artists.
He realized that cartoons alone were not enough for him to express his feelings, his aesthetic experiences and his ideas. Besides painting, he writes poems and short stories.
“I also like playing classical guitar to find inspiration,” he said.
Sudarta has received many awards, including several Adinegoro Journalistic Awards from the Indonesian Journalists Association (in the 1980s), the Best Cartoon of Nippon (2000) and Gold Prize Tokyo No Kai (2004).
The artist, whose full name is Gerardus Mayela Sudarta, has now retired from Kompas and lives in Klaten. But he still works for the paper on a contract basis, contributing one cartoon a week. He also contributes to the New York-based Cartoonist & Writer Syndicate and several Japanese media publications.
Next year, he will teach drawing and cartoons at Seika University in Kyoto, Japan.
When asked why he did not teach here, he said: “Because no one has asked me.”
About his future plans, he says, “Let it just flow like a river.”
Oom Pasikom, Sang Perekam Zaman
Menyimak karya-karya GM Sudarta serasa menyimak orang Jawa (atau Timur?) menuturkan kritik. Karya-karya kartun editorialnya (atau yang secara salah kaprah lebih diakrabi sebagai karikatur), dengan Oom Pasikom sebagai maskotnya, seperti memberi representasi yang melekat atas modus orang Jawa dalam menyampaikan kritik.
Pada sebagian besar karyanya, terasa kuat gejala eufemisme atau kramanisasi yang bertolak dari ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai titik pijak ketika berolah kritik: Ngono ya ngono, ning aja ngono. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Ungkapan ini, yang telah mengental sebagai ideologi, memberi semacam garis demarkasi bagi hadirnya sebuah kritik. Dua kata ngono pada bagian awal mengindikasikan kemungkinan dan peluang akan hadirnya sebuah kritik dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Di sini tersirat kemampuan manusia dan atau kultur Jawa untuk mengakomodasi datangnya kritik. Sedangkan kata ngono yang ketiga seolah menjadi kunci pokok yang menyiratkan pentingnya etika dan moralitas dalam tiap kritik yang muncul, tentu dengan subyektivitas khas Jawa. Artinya ada relasi yang komplementatif atas hadirnya kritik yang berpeluk erat dengan pentingnya aspek format, bentuk, dan kemasan kritik. Sehingga dalam mencermati kenyataan di atas, terlihat menyeruaknya pemaknaan wacana kritik (khas Jawa) yang bisa ditafsirkan sebagai paradoksal dan mendua. Pentingnya kritik (seolah hanya) ada pada kemasannya.
Ideologi kritik semacam ini kian menguat dan strategis untuk dihadirkan ketika Oom Pasikom muncul di tengah kuku kekuasaan otoritarianisme Orde Jawa (istilah GM Sudarta untuk Orde Baru) pimpinan Soeharto. Pemerintahan militeristik yang cenderung antikritik waktu itu bagai mengalih-ubah ideologi ngono ya ngono ning aja ngono secara eksploitatif menjadi “ngritik ya ngritik ning aja ngritik” atau “protes ya protes ning aja protes”. Situasi represif inilah yang kemudian memberi celah kemungkinan bagi karikaturis penyuka kostum warna gelap tersebut untuk bersiasat membangun kreativitas dengan kritik lewat karikatur di forum publicum, yakni harian Kompas.
Siasat ini, meminjam paparan Magnis Suseno dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa (1993), mengedepankan dua kaidah penting dalam relasi sosial manusia Jawa, yakni “prinsip kerukunan” dan “prinsip hormat”. Kaidah pertama menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sedang kaidah kedua menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai sikap hormat yang ditunjukkan terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Keduanya merupakan kerangka normatif yang menentukan semua interaksi dalam masyarakat Jawa. Tujuannya jelas, memelihara harmoni atau keselarasan. Di selinap dua prinsip tersebut, “prinsip humor” menjadi ruh penting pada tiap karya karikatur Oom Pasikom.
Artefak dari siasat kritik ala orang Jawa eh, GM Sudarta itu terpampang dalam pameran tunggalnya yang dikelilingkan di beberapa kota dalam setengah tahun ini. Masing-masing di Bentara Budaya Jakarta, 4-12 Juli 2007, lalu di Bentara Budaya Yogyakarta (4-10 Agustus). Berikutnya di Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang (21-29 Agustus), Balai Pemuda Surabaya (8-14 September), Danes Art Veranda, Denpasar (19-28 September), Galeri Semarang (4-14 November), dan terakhir di Galeri Soemardja Bandung (18-27 Januari 2008). Ada sekitar 250-an karikatur yang telah disiapkan, dan tentu ini disesuaikan dengan kapasitas masing-masing ruang (venue) tersebut. Rencana pameran keliling itu diawali dengan peluncuran buku 40 Tahun Oom Pasikom: Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007 di Bentara Budaya Jakarta. Ini merupakan buku antologi karikatur ketiga GM Sudarta, dan terlengkap, setelah antologi Indonesia 1967-1980 (1980) dan Reformasi (1999).
Historiografi Visual
Kehadiran karikatur GM Sudarta sendiri bagi harian Kompas berposisi sebagai katup opini redaksi di samping katup lain yakni pojok Mang Usil dan tajuk rencana. Senjatanya jelas: gambar dengan pendekatan humor. Sejak kemunculannya pertama kali di Kompas 4 April 1967, kemudian awal dikreasinya maskot Oom Pasikom hampir empat tahun kemudian pada 20 Februari 1971, hingga sekarang ini, antara Kompas dan karikatur Oom Pasikom seolah menjadi paket tunggal yang integral dan mutual. Keduanya identik. Saling menunjang dan menguatkan untuk membangun identitas Kompas seperti yang kita kenali kini.
Lalu, kini, apa yang bisa dibaca pada karya-karya karikatur tersebut ketika mereka hadir berhamburan dalam kilasan waktu dan konteks budaya yang terus merambat?
Mengingat ruang kehadiran karikatur berada dalam forum yang menghadirkan realitas media yang diangkut dari realitas sosial, maka sejauh ini karya karikatur relatif banyak membopong fakta-fakta sosial budaya yang bertebaran di masyarakat. “Realitas karikatur” adalah pantulan dari realitas sosial budaya sebuah masyarakat tertentu. Pada titik inilah sebenarnya karikatur dalam surat kabar yang kehadirannya rutin, intensif dan kritis dari waktu ke waktu akan mampu menyediakan diri sebagai alat baca alternatif atas kecenderungan dan pergeseran sebuah masyarakat. Di dalamnya juga ada cara pandang kritis terhadap dinamika masyarakat itu. Oleh karenanya, karya karikatur mampu pula diposisikan sebagai alternatif perangkat historiografi visual dan/atau antropologi visual yang bisa dibaca dari sudut berbeda.
Lihat misalnya karikatur GM Sudarta yang dimuat Kompas pada tanggal 14 Desember 1970. Karya itu menggambarkan kasus Sum Kuning, seorang gadis penjual telur yang diperkosa oleh beberapa anak berandal di Yogyakarta yang diduga melibatkan anak petinggi, ningrat, dan terhormat di kota Gudeg. Peristiwa hukum itu kian heboh karena diduga ada upaya untuk menjadikan kasus tersebut sebagai dark number yang membuntukan solusi. Oleh GM Sudarta, kasus ini tidak digiring masuk dalam kotak hukum, melainkan memperluas perspektif persoalan dengan menempatkannya sebagai upaya pemberangusan kebebasan pers yang dilakukan oleh aparat hukum. Kala itu penyelidikan polisi tidak tuntas dan pers tidak bisa memberitakan hal yang sebenarnya. Digambarkan di sana ada papan bertuliskan “Peristiwa Sum Kuning” yang memiliki bayangan berbentuk serupa palu godam dan siap jatuh menimpa sosok manusia berbaju “kebebasan pers”.
Ada pula karikatur menarik yang dimuat pada tanggal 31 Januari 1987. Karikaturis asal Klaten, Jawa Tengah ini memvisualkan sosok aktris opera sabun Australia, Rebecca Gilling, pemeran tokoh Stephanie Harper dalam serial paling heboh waktu itu, Return to Eden yang ditayangkan oleh TVRI. Gilling seperti “diada-adain” acara dengan diundang oleh Kedutaan besar Australia di Jakarta dalam rangka menghadiri peringatan Hari Nasional Australia pada tanggal 25 Januari 1987. Sebenarnya itu peristiwa kecil dan “biasa-biasa saja”. Namun oleh GM Sudarta ditangkap sebagai sebuah upaya kultural dalam menghangatkan hubungan RI-Australia yang selalu penuh drama “benci tapi rindu”. Sosok Rebecca Gilling digambarkan tertawa lepas dan menjadi mediator bagi dua orang Australia dan Indonesia di kanan-kirinya. Di samping mereka bertiga, ada anak kecil yang denga usil nyeletuk: “Diplomasi Return to Eden”.
Begitulah. Dengan kepiawaian artistik yang mumpuni, sensibilitas sosial tinggi, wawasan terus terbarui, dan kritisisme yang tajam, sosok GM Sudarta telah menjadi dalang yang baik bagi lahirnya lakon-lakon karikatur bernas dan intelek di harian Kompas hingga 40 tahun. Karikatur-karikatur itu, saya kira, telah melampaui posisi dirinya tidak sekadar sebagai karya jurnalistik ataupun karya seni rupa, namun juga menjadi karya sosial yang tiap kepingnya menangkap lalu merekam gelagat tanda-tanda zaman. GM Sudarta, Oom Pasikom, telah menjadi saksi bagi dinamika dan semangat zaman yang terus bergerak.
Lalu, apakah ideologi ngono ya ngono, ning aja ngono juga bergerak menemukan kebaruannya?
40 Th Oom Pasikom
Melalui tokoh kartun Ooom Pasikom, kartunis GM Sudarta berkarya di Harian Kompas, perjalanan ini dimulai setelah harian ini berusia dua tahun. Melalui Oom Pasikom inilah sang kartunis memotret wajah Indonesia dengan gaya humor.
Peringatan 40 tahun ini dirayakan dalam sebuah pameran krtun di Gedung Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini akan berlangsung sampai 12 Juli mendatang sebelum berkeliling ke Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Semarang dan Bandung.
“Karyanya yang sarat dengan humor membuat kritikannya tidak terlalu tajam, tidak terlalu menyakitkan,” kata Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas yang memberikan kata sambutan acara pembukaan Selasa, pukul 20.00.
Selama 40 tahun ini sosok Oom Pasikom memang sangat identik dengan Kompas. “Saya sendiri sering bingung, apakah Oom Pasikom yang mempengaruhi Kompas, atau Kompas yang banyak memperkaya Oom Pasikom,” kata Jakob yang disambut dengan gelak tertawa para pengunjung yang berjubel.
GM Sudarta yang selama ini selalu melemparkan kritik pedas melalui karya kartunnya kali ini giliran mendapatkan kritik dari seniman Butet Kertaredjasa. Gaya humor sang monolog yang mengkritik sisi kehidupan sang kartunis, yaitu tentang perkawinan keduanya, rasanya kira-kira sama seperti dengan kritikan sang kartunis terhadap mereka yang dikritik selama ini. “Ojo nesu lho,” kata Butet untuk meyakinkan GM Sudarta tidak marah.
“Perspektif Live” Bangun (Justru) karena “Ditidurkan”
KREATIVITAS memang tak selalu membutuhkan ruang dan waktu khusus.
Kreativitas bisa disalurkan kapan dan di mana pun. Sebagai ungkapan
kerja, kreativitas bisa muncul di tengah kesumpekan. Bahkan di puncak
ketakutan pun kreativitas kadangkala justru hadir menemukan bentuknya
yang pas.
Bingkai pemikiran sema cam ini barangkali tidaklah terlalu meleset
untuk meletakkan format Perspektif Live, sebuah talk show ala acara
Perspektif, yang dulu selalu ada di SCTV setiap Sabtu sore. Juga
diasuh oleh Wimar Witoelar, Perspektif Live itu sendiri merupakan
forum pengganti Perspektif di SCTV yang sejak sebulan lalu telah
“ditidurkan” — ini istilah seorang simpatisan pada pergelaran perdana
di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, hari Sabtu (7/10) lalu.
Entah oleh siapa, namun yang pasti ‘penjadwalan ulang’ itu bukanlah
semata-mata kehendak pengelola SCTV. “Acara kita –baik Perspektif
televisi maupun Perspektif Live yang akan digelar di beberapa kota–,
tidak bersikap memusuhi siapa-siapa. Ia justru ingin membuktikan bahwa
negara ini bebas,” kata Wimar Witoelar kepada wartawan yang
merubungnya sesaat sebelum acara dimulai. Kartunis GM Sudarta alias
Oom Pasikom mendapat kehormatan sebagai tamu perdana Perspektif Live,
sebuah wawancara panggung namun dibuat mirip seperti di televisi. Yang
unik, di acara ini para ‘penonton’ diberi kesempatan bertanya apa
saja, baik kepada pemandu (Wimar Witoelar) maupun kepada tamunya.
***
BARANGKALI di luar dugaan panitia bila Sabtu sore ruang pertemuan di
lantai dua Hotel Ambhara disesaki pengunjung. Meski sebagian besar
adalah kaum muda, tetapi tidak sedikit dari generasi yang sedikit
lebih tua.
Christianto Wibisono, misalnya, juga hadir di sana. Sedangkan dari
generasi yang jauh lebih muda adalah Danang alias Danarto, seorang
joki three in one yang pernah men jadi tamu Perspektif di SCTV.
Bagaikan tengah menghadapi pemirsa televisi di rumah, dengan gayanya
yang khas, dengan pertanyaan-pernyataannya yang cerdas, dan dengan
santai tetapi ‘galak’ memburu tamunya lewat pertanyaan (sesekali bisa
berupa pernyataan) yang kreatif, Wimar Witoelar mampu menggiring
‘penonton’-nya untuk ikut terlibat “berpikir”. Bagaimana persoalan
lucu menjadi serius, sebaliknya yang sebetulnya tak lucu menjadi l
ucu, dibedahnya bersama GM Sudarta dalam percakapan selama kurang dari
30 menit.
“Kita bikin pertemuan ini lucu sekali. Sebab sekarang ini kalau nggak
lucu, nggak kebagian,” kata Wimar. Definisi lucu memang sudah kabur.
Terkadang malah absurd. Mengapa? “Sekarang ini semua sudah lucu.
Karenanya, lawak itu sudah tidak lucu lagi, lantaran kelucuan sudah
dimonopoli dan dioligopoli,” timpal Oom Pasikom.
Boleh jadi, karena itu pula mengapa GM Sudarta menolak anggapan Wimar
bahwa karikaturnya yang dimuat di Kompas edisi Sabtu 7 Oktober 1995
adalah sesuatu yang lucu. “Itu adalah persoalan serius. Tidak lucu,”
katanya. Karikatur yang dimaksudkan itu menggambarkan seorang bapak
mencat tembok rumahnya dengan satu warna tertentu, sementara istri dan
anaknya masing-masing membawa sekaligus menyodorkan cat warna lain
sembari berkata: Dengan warna ini pula dong Pak … biar lebih indah
dan meriah! Tapi anehnya, ‘penonton’ justru tetap menganggap itu
semua sebagai suatu kejenakaan.
Buktinya, sekitar 100 orang yang hadir di sana tertawa ngakak. Ikhwal
‘pembreidelan’ (dalam tanda petik) acara Perspektif di SCTV juga
diperbincangkan. Kali ini ‘penonton’ tak tinggal diam. Berbagai
komentar mengalir ke panggung. Kata demokratisasi terlontar seperti
mitraliur dengan berbagai artikulasinya. Seorang lelaki berambut
panjang tergerai mencoba merangkum itu semua dalam sebuah kisah dengan
gaya parodi. Katanya, sekarang ini ia hidup bagaikan seorang lelaki
yang bermertuakan seseorang yang amat kaya. Segala kebutuhan dipenuhi
oleh sang mertua, sehingga dari sisi materi tak ada yang kurang
sedikit pun. Tapi sang menantu ternyata juga punya keinginan untuk
tinggal di rumah sendiri dari hasil keringatnya. Kalau perlu, kata si
empunya cerita, cukup di rumah kontrakan kecil di satu sudut kota ini.
Anggapan bahwa dialog yang ditampilkan Perspektif cenderung keras dan
galak, seperti komentar ‘penonton’ lainnya, ditepis Wimar. Ia pun
menolak pendapat bahwa jiwa manusia sudah tidak sepenuhnya bebas.
Dermokrasi di negeri ini tetap ada, hanya (sekali lagi hanya) begitu
jiwa manusia yang bebas tadi masuk ke sistem politik yang ia sebut
sebagai produk kepentingan kekuasaan –ini bersifat temporer– maka
jiwa yang bebas tadi menjadi tanda tanya.
***
“PERSPEKTIF sebetulnya tidak melawan siapa-siapa. Saya semakin yakin
setelah berkali-kali menonton, karena hampir setiap hari saya menonton
ulang tayangan Perspektif, saya merasa tidak apa-apa. Atau barangkali
hanya disalahmengertikan, atau kebebasan itu ditafsirkan sebagai
(tindakan) agresif.” Lalu mengapa ia tidak mendapat tempat? Ada yang
berpendapat itu terjadi lantaran Wimar tidak berusaha memposisikan
diri dengan mengambil topik ‘yang aman-aman saja’. Sedangkan GM
Sudarta mencoba melihatnya dari aspek budaya timur, yang barangkali
semestinya ditempuh Wimar agar Perspektif bisa eksis. Tetapi bagi
Wimar masalah bukan d i sana. Jika ini yang ia lakukan maka hal itu
tak ubahnya menentang sifat acara itu sendiri yang lebih menekankan
perlunya berpikir sebagai orang bebas.
“Kalau ambil yang aman-aman saja mungkin aman juga di hati penguasa,
tetapi tidak aman di mata penonton. Dan saya lebih takut pada
penonton…,” ujarnya. Berangkat dari prinsip demikian, Wimar
berterima kasih atas sambutan penonton terhadap acara Perspektif yang
sudah almarhum serta Perspektif Live yang keberadaannya tengah
dirintis. Terhadap sambutan ‘penonton’ yang menempatkan Perspektif
sebagai wahana ikut mencerdaskan bangsa, dengan agak malu-malu ia
berkata, “Kami tidak berani mengatakannya demikian. Hanya saja, kalau
boleh memilih, bukan mencerdaskan tapi membebaskan …”
***
UPAYA pembebasan itu ternyata tidak selalu berjalan mulus. Satu
episode telah diretas, menyusul dibekukannya siaran –yang menurut
Mentrans-PPH Siswono Yudohusodo memberi pemikiran alternatif– itu
dari SCTV. Andai boleh mengibaratkan sebagai sebuah keluarga, demikian
surat terbuka kru Perspektif kepada penonton, pers dan pemerintah,
kita baru saja kehilangan tempat berteduh. Tempat di mana kita bertemu
sekali seminggu untuk berbagi cerita, berbagi pengalaman, dalam
suasana hangat dan terbuka.
Sejak itu, ratusan surat, faksimili, telepon dan ucapan simpati datang
dari berbagai penjuru Tanah Air. Dari kue sioner yang masuk ke
pengasuh acara Perspektif, sebagian besar menginginkan bisa bertemu
dalam forum lain. Mereka ini juga berharap suatu saat Wimar dan
Perspektif-nya bisa muncul kembali di layar kaca. “Setelah 18 bulan,
ternyata saya gagal memuaskan penonton Indonesia. Rupanya semua
senang, kecuali…” Terhadap usul agar Perspektif bisa masuk ke TVRI
misalnya, Wimar menyambutnya dengan niat akan mengajukan surat
permohonan ke Menteri Penerangan. “Saya malah senang bila suatu saat
lima saluran televisi di Tanah Air bisa menayangkan rekaman acara
saya.” Karena ‘takut’ pada penonton, akhirnya acara ‘minum teh’ yang
semula direncanakan sebagai pesta perpisahan justru dijadikan tonggak
awal kegiatan Perspektif di luar TV. Setelah Jakarta, Wimar
merencanakan perjalanan keliling ke Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan
beberapa kota besar lainnya. Kalaupun lewat forum semacam ini ia
nantinya dicekal, Wimar mengaku akan mencari format lain, semisal
lewat radio, news letter atau internet.
Lepas dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi, Wimar dengan
Perspektif Live-nya telah menancapkan sebuah keberanian. Meski ada
pendapat bahwa keberanian adalah puncak dari ketakutan, tetapi ia
tetap diperlukan untuk melahirkan sebuah kreativitas. Meminjam istilah
Mohammad Sobary, dengan Perspektif-nya, Wimar hadir di tengah suasana
yang serba seragam.
Lektur Terbuka ”Kartunis dan Tugasnya”:
Kartun Harus Bisa Mengundang Senyum…
JAKARTA – Resep menjadi seorang kartunis, ternyata susah-susah gampang. ”Harus bisa mengundang senyum bagi yang dikritik, masyarakat maupun kartunisnya sendiri,” cetus kartunis senior GM Sudarta di sela-sela lektur terbuka yang diadakan dalam rangka pameran Kartun Asia di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta, Sabtu siang pekan lalu.
Pada kenyataannya, alih-alih mengundang senyum, yang terjadi malah malapetaka. Seperti yang dialaminya sendiri saat bekerja di Harian Kompas selama empat dekade ini. Karya-karyanya tak urung kerap mendapat protes dari pihak yang dikritiknya. Mulai dari yang paling ringan seperti telepon atau surat bernada protes ataupun mengancam pencabutan SIUPP hingga yang paling berat, kantornya sampai pernah didatangi panser!
Semua risiko itu, kata Sudarta, harus diterima sebagai konsekuensi dari profesi seorang kartunis. Lebih dari sekadar gambar-gambar lucu, kartun sesungguhnya mencerminkan kebudayaan menghadapi kekuasaan. Kartun berisi parodi kata dan gambar yang mengkritik kebijakan pemerintah atau menyampaikan masalah yang terjadi di masyarakat akibat diberlakukannya sebuah kebijakan. Tak heran, dengan tugas berat semacam ini ada seorang ahli yang menyebut kartunis sebagai komponen dari berbagai ilmu, kartunis adalah seorang seniman, jurnalis, analis, ilmuwan dan humoris yang digabungkan menjadi satu. Sulitnya lagi, pekerjaan kartunis hanya dibatasi medium yang sangat terbatas, hanya sebuah kolom kecil yang harus ia isi dengan pesan yang langsung mencapai sasaran.
Memang tak ada rumus pasti bagaimana menciptakan kartun yang baik. Tapi secara pribadi, Sudarta mengatakan dalam mengemban tugasnya ia sangat berhati-hati agar pesan yang akan disampaikan bisa diterima dengan baik tanpa menimbulkan amarah, utamanya dari pihak yang dikritik. ”Saya selalu memakai akar budaya Indonesia. Karena saya orang Jawa, saya sangat tepo seliro, menggunakan jalan melingkar tapi yang penting kena sasaran,” tandas kartunis yang memegang teguh ucapan pakar kartun asal Jepang, Profesor Yakitomi yang berpendapat kekuatan kartunis adalah dari bisikannya yang mengungkapkan ada sesuatu yang belum terlambat untuk diperbaiki. Cara bisik-bisik semacam ini, dinilai Sudarta kadang kala jauh lebih efektif dibandingkan berteriak di jalan atau melakukan aksi demo.
Walau penuh risiko dan menyandang tanggung jawab berat, menjadi seorang kartunis sesungguhnya menyimpan kebahagiaan tersendiri, yaitu ketika karyanya bisa menyentuh hati orang banyak dan syukur-syukur bisa menciptakan perubahan, walaupun hanya sedikit. ”Saya ingat, dulu saya pernah gambar Oom Pasikom yang sedang mengisap cengkeh dan kemudian batuk-batuk dan muntah darah. Waktu itu, memang sedang gencar-gencarnya seorang putra mantan Presiden kita mengelola bisnis cengkeh. Setelah kartun itu dimuat, saya bersyukur setidaknya ada sedikit perubahan,” sahut Sudarta tanpa menyebutkan lebih lanjut perubahan apa yang terjadi.
Jujur
Menyambung ucapan Sudarta, kartunis kondang asal Malaysia, Lat, mengatakan pada umumnya keadaan politik di Malaysia belakangan ini sudah jauh lebih terbuka. Menurut pengakuannya, banyak pejabat Malaysia yang berlomba-lomba minta dibuatkan kartun bergambar dirinya. ”Yang penting jangan melanggar isu perkauman, itu berbahaya. Jadi saya berusaha elakkan yang namanya polisi, tentara, bisnis, agama atau keturunan lain karena kami di Malaysia terdiri dari banyak etnik,” papar Lat.
”Kalau soal politik, itu boleh-boleh saja sepanjang menggambarkan reaksi orang banyak terhadap perkembangan politik,” imbuh Lat yang mendapat gelar Datuk dari Sultan Perak tahun 1994 akibat kiprahnya sebagai kartunis kawakan di negeri jiran itu. Meski sudah menerima gelar terhormat, Lat mengaku gelar ini tidak mempengaruhi pekerjaannya sebagai kartunis yang tetap kritis terhadap situasi di sekitarnya. Satu kali, Lat pernah merasa tidak enak ketika ia menggambar jalan layang di Kuala Lumpur yang berubah fungsi menjadi tempat parkir gara-gara Malaysia dilanda banjir besar. ”Saya merasa tidak enak, rasanya kok kejam betul. Tapi saya hanya menggambarkan reaksi orang waktu itu,” cetus Lat yang berkarier di News Straits Times sejak 1970.
Apa yang dilakukan Lat adalah sebuah bentuk kejujuran, yang harus dimiliki seorang kartunis. Kejujuran ini pernah dialami Lat ketika ia mendapat tugas membuat kartun Ayo ke Masjid yang bertujuan mengajak anak-anak di Malaysia untuk pergi besembahyang di masjid karena lebih banyak pahalanya. ”Tapi saya hentikan karena selain reproduksi dalam koran jelek, saya sendiri tidak selalu pergi ke masjid karena lebih banyak sembahyang di rumah. Jadi saya tidak mau menjadi contoh jelek,” sahut kartunis yang terkenal berkat bukunya, Kampung Boy.
40 Tahun Perjalanan “Wakil Rakyat”
Menyusuri ruang galeri Bentara Budaya Jakarta yang dipenuhi karikatur berbingkai itu, membawaku kembali kepada kenangan berbagai peristiwa masa lalu. GM Sudarta, sang kartunis pencipta karya -karya tersebut, memang seorang jenius yang jeli. Goresan pena dan kuas dari tangan dinginnya mampu menyorot hal – hal detil yang kemudian memediasikan pesan, yang umumnya dapat terkonsumsi dengan baik bahkan oleh masyarakat dengan beragam latar belakang pendidikan dan sosial budaya.Sosok Om Pasikom, yang kemudian menjadi maskot dan tokoh utama karikatur karya Sudarta, memang sudah menjadi tokoh yang sangat dikenal dan digemari masyarakat. Dalam pameran 40 tahun Om Pasikom yang digelar mulai tanggal 4 hingga 12 Juli 2007 ini, Om Pasikom benar – benar sanggup mewakili suara hati nurani rakyat pada umumnya dalam menyikapi berbagai persoalan hidup baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri selama 40 tahun terakhir.
Tokoh Om Pasikom sendiri ingin digambarkan sebagai sosok yang sangat netral. Seperti yang dituturkan dalam wawancara GM Sudarta dengan GATRA pada edisi 26 Agustus 2001 yang lalu, tokoh berjas tambalan dengan topi baret yang khas ini digambarkan sebagai pria kelahiran tahun 1935an. Nama Om Pasikom sendiri, menurutnya diambil dari nama harian KOMPAS yang bila diulang – ulang pengucapannya menjadi Pasikom.
Dalam pameran 40 tahun Om Pasikom ini, karya – karya karikatur digelar dalam tiga ruang galeri yang terdapat di Bentara Budaya Jakarta. Mulai dari karya – karya GM Sudarta tahun 1967 hingga karya – karya tahun 2007 ini. Kenangan peristiwa – peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam terasa hadir kembali manakala pengunjung diajak berkeliling mengamati dan merunut karya – karya karikatur yang dibingkai dan ditata apik layaknya pameran lukisan.
Beberapa karya yang menggelitik di antaranya adalah peristiwa kisruhnya pengoperasian pertama kali Bandara Soekarno-Hatta, sorotan pada PSSI yang kerap kali kalah, serta sepak terjang pangkopkamtib (waktu itu) Sudomo dengan OEPH (Operasi Esok Penuh Harapan) nya, hingga ke penyidikan harta kekayaan Suharto oleh kejagung yang sarat dengan basa – basi politik. Selain itu, beberapa persitiwa getir yang berhasil menyentuh perasaan pemirsa adalah peristiwa tenggelamnya kapal Tampomas, peristiwa Marsinah dan Udin, dan yang paling berkesan bagi GM Sudarta sendiri adalah peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Acungan jempol dan ucapan terima kasih memang layak dialamatkan kepada Om Pasikom. Tokoh imajiner yang mampu hidup di tengah masyarakat dan mampu mewakili kita semua dalam bermasyarakat dan menyuarakan hati nurani langsung kepada sasaran yang dituju. Selamat berkarya dan melanjutkan perjalanan hidupmu Om!
KRITIK LEWAT KARTUN
Masih ingat Om Pasikom? Om Pasikom ialah tokoh utama karikatur yg selalu hadir di harian Kompas. Om Pasikom ialah tokoh rekaan dari kartunis G.M Sudarta, yang telah membuat karikatur ini sejak tahun 1969. Karikatur Om Pasikom sering memberikan gambaran ataupun kritik dari suatu situasi atau kebijakan yg sedang terjadi dan juga sanggup mewakili suara hati nurani rakyat pada umumnya dalam menyikapi berbagai persoalan hidup baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri selama 40 tahun terakhir.
Aku juga terkadang tersenyum simpul melihat karikatur Om Pasikom ini, dalam hati berkata ‘iya, benar juga tuh’, atau tertawa karena situasi yg terjadi memang pas dengan apa yg dikritik oleh Om Pasikom, tokoh nyentrik yg memakai jas tambalan dengan topi baret yang khas ini . Bulan Juli 2007 kemarin sempat diadakan pameran 40 thn kiprah Om Pasikom di Bentara Budaya Jakarta.
Btw, apakah ada buku yang berisi kumpulan karikatur Om Pasikom?
Secara tak sengaja aku menemukan web kartunis yang juga sering mengkritik kebijakan politik Amerika , berita kontrovesrial, politik dunia, dll. John Cox and Forkum kartunis yang menerbitkan hasil goresannya ke dalam buku dalam beberapa seri. Sepertinya menarik kalau kumpulan karikatur Om Pasikom itu dijadikan buku(kalau belum pernah), kalau versi filmnya sudah ada dan tokoh Om Pasikom diperankan oleh Butet Kertaredjasa, seniman nyentrik dari Jogya.
Kalau buku kumpulan karikatur Om Pasikom ada, tentunya dari buku itu kita bisa mendapatkan gambaran atau mengingat peristiwa2 politik dan situasi yg pernah ada dalam politik Indonesia contohnya sepak terjang pangkopkamtib (waktu itu) Sudomo dengan OEPH (Operasi Esok Penuh Harapan) nya, hingga ke penyidikan harta kekayaan Suharto oleh kejagung yang sarat dengan basa – basi politik.
Dibawah ini ialah karikatur sindiran terhadap kasus Dan Rather yang menuntut CBS Network yang merasa bahwa dirinya telah dijadikan korban kambing hitam oleh bekas bossnya di CBS dalam mediskreditkan cerita seputar wajib militer presiden Bush.
Ketika Karikatur Berbicara Tentang Sejarah
Wakil rakyat itu harus ke luar negeri, klo enggak pernah keluar negeri ya malu dong, cetus Meriam
Bellina.
Perempuan yang ada di depannya mengiyakan. Ooh bener sekali itu, Jeng. Masak kalo ditanya orang pernah
keluar negeri nggak, wakil rakyat kita ngejawab enggak.
Itulah kutipan percakapan Meriam Bellina dengan salah satu istri wakil rakyat. Jangan salah sangka dulu. Yang saya
ceritakan ini adalah Meriam Bellina saat menjalankan perannya sebagai istri Oom Pasikom, yang ketiban sampur
menjadi wakil rakyat.
Oom Pasikom diperankan oleh Butet Kertaradjasa. Sempurna sekali performanya saat memerankan tokoh rekaan
karikaturnis harian Kompas, GM Sudarta yang di-sinetron-an. Saya pakai istilah sinetron karena saya tidak menemukan
kata yang tepat untuk bentuk audio visual singkat berupa adaptasi dari salahsatu karya GM Sudarta. Tak panjanng
sebenarnya durasi dari film singkat itu. Tak lebih dari 40 menit. Saya kira durasi satu film singkat berikutnya di bawah
judul UMR itu pun kurang lebih sama. Hanya saya tidak berkesempatan melihatnya.
Ya, film singkat itu diputar di gedung Bentara Budaya, di kawasan Jalan Palmerah Selatan Jakarta Barat. Diputar di
televisi berukuran 21 inch di sisi kanan karikatur berupa potret diri GM Sudarta. Film singkat itu salah satu pendukung
dalam pameran 40 tahun Oom Pasikom yang digelar di Bentara Budaya hingga Kamis (12/7).
Diberi tajuk 40 tahun, karena dalam pameran tersebut disajikan karya pilihan GM Sudarta dalam rentang waktu 1967
hingga 2007. Layaklah hingga kemudian deretan karikatur itu dikatakan mampu bercerita tentang sejarah.
Sebut saja karikatur bertema Eforia berdirinya Orde Baru yang dimuat Kompas edisi 4 April 1967. Dalam karikatur itu
GM Sudarta menggambarkan sosok Soeharto berseragam militer membawa sapu lidi dan membersihkan orang lain
bertuliskan sisa Orla (Orde Lama) dan kaleng bekas bertuliskan Orla.
Lalu karikatur berbentuk buku tebal bertuliskan Kode Etik Profesi. Di dalamnya terselip selembar rupiah. Dalam
keterangan di kalatog pameran disebutkan tejadi pelanggaran kode etik profesi yang melibatkan dokter dengan pabrik
farmasi. Pelanggaran itu dalam bentuk penerimaan uang kerja sama, uang persentasi penulisan resep, barang, tiket
seminar keluar negeri, atau dana untuk uji coba klinis obat baru. Karikatur tersebut termuat dalam Kompas edisi 27 Juni
1984.
Dalam pameran tersebut juga diperlihatkan karikatur yang tidak dipublikasikan di Kompas. Menurut cerita GM Sudarta
dalam wawancara Kompas Minggu, 8 Juli 2007 lalu karikatur bertema Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh tersebut tidak
diperbolehkan dimuat karena terlalu provokatif. Larangan pemuatan itu disampaikan oleh Jakob Oetama.
Sebenarnya seperti apa sih karikatur itu? Rasa penasaran itulah yang membuat saya hingga kemudian berdiri di depan
karikatur berupa tulisan DOM dengan huruf O diganti gambar tengkorak kepala manusia.
Sayang saya terlewatkan tanggal berapa karikatur itu dibuat. Tetapi dengan melihat karikatur tersebut, orang akan
dibawa ke persepsi bahwa telah ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di bumi Serambi Mekah tersebut.
perjalanan om pasikom ternyata sangat panjang….bisa minta profil2 nya ato mgkn komunitas para kartunis di kompas??!!oya, bisa bantu analisa kartun om pasikom gak tentang bbm kemarin, ada yg bgg, he2…tq,,tq
bls ke emailku ya…
maap,, kalo boleh tw nomor contact-nya mas G.M. Sidarta,,
kebetulan saya dan teman2 ingin mengadakan workshop karikatur,, kalau bisa sharing kan,lumayan tuwh..
terima kasih sebelumnya,,
GM Sudarta termasuk Inspirasi saya, tapi kenapa posisi GM Sudarta dikompas digantikan tom dean?
ada yang tau ga alasannya?
Mas gm sudarta secara kelembagaan sudah pensiun dari kompas.
Hallo Om GM.Sudarta,
Saya hanya ingin mengatakan kalau karya anda sangat indah dan penuh makna. Humoris tetapi memiliki nilai yang mendalam.
Semoga GM Sudarta dapat menjadi contoh tunas bangsa.
long live pa sudarta!!!!
Salah satu ucapannya di Televisi Swasta Nasional : ” Karikatur itu salah satu dari kartun” menunjukkan bahwa GM Sudarta adalah praktisi yang memahami teori…matur nuwun, matur suksma, terima kasih Om GM Sudarta..Kalau berkenan mohon mengomentari sedikit karikatur di blog saya http://www.agusandrian.blogspot.com
Sejak kecil saya sudah kerap menggambar kartun. Tetapi, belum bisa menemukan karakter. Nah, bagaimana sih supaya bisa menjadi kartunis seperti GM Sudrajat yang jenius. Trims.
Kepada Yth,
Tim Kartumartono’s blog
Selamat Siang
Kami Penerbit Dian rakyat ingin mengetahui nomor kontak Bapak GM. Sudarta karena kami ingin memakai karikatur karya beliau untuk penerbitan buku Sutan Takdir Alisjahbana. Karikatur bergambar STA tersebut dimuat pada tanggal 30 Oktober 1991. Mohon Bantuannya ya Pak.
Terima kasih banyak.
Penerbit Dian Rakyat
Sayang, kami tidak memiliki kontak dengan beliau. Beliau sudah beberapa tahun ini mengajar dan tinggal di jepang. Tapi kami sarankan untuk dapat menghubungi sdr. Darminto M Sudarmo di darminto_ms@yahoo.com, beliau pasti punya nomor kontaknya, minimal alamat emailnya.
Assalamualaikum…
saya wiwitanti mahasiswa universitas pasundan bandung, saya ingin tahu contact person om Sudarta, untuk keperluan skripsi saya. karena saya sedang meneliti karya beliau mengenai oom pasikom edisi 27 juni dan 11 juli 2009,dan saya sangat memerlukan wawancara dengan beliau, mohon bantuannya ya…sangat ditunggu sekali oleh saya..
terima kasih
Mas GM Sudarta adalah profil langka seorang “komedian” cerdas Indonesia yang memiliki panggung di harian Kompas. Komedian-komedian Indonesia yang wara-wiri di panggung layar televisi, mau belajar dari beliau, dari dedikasi sampai keinginan terus , juga gigih berbakti, yang nyalanya seolah tanpa redup dalam menghadirkan humor kelas tinggi. Saya dari Wonogiri ikut berdoa untuk kesembuhan beliau !
Info lanjut : http://regional.kompas.com/read/2010/08/16/12140416/Kartunis.Oom.Pasikom.GM.Sudarta.Sakit-5
Mas GM Sudarta.. karya2 sampean adalah kesukaanku.. mathuk kabeh.. salam, prayoga
Kami termasuk penggemar berat kartun “Om Pasikom” nya Mas GM Sudarta. Dulu setiap Kompas terbit, kalau ada kartunya Mas GM akan kami nikmati lebih dulu. Bagaimanapun, jejak Anda akan tetap tercatat sejarah…….
Salam kompak:
Obyektif Cyber Magazine
(obyektif.com)
Luar biasa pak Sudarta, salam hormat
BAGAIMANA SAYA BISA HUB BELIAU YA…MOHON INFO